Lautnya Marah
Tulisan ini semestinya sudah kelar sejak lama, minimal dua minggu lalu. Berhubung kesibukan yang padat (red: banyak tidur) maka keterlambatan tiap kali memaksaku menyelesaikannya. Akhirnya, ku tulis juga. He he he . . . .
Pagi itu, ya, kami perginya pagi-pagi. "Apaan yang pagi, jam 2 siang goblok," bantah Yudir. Ok lah, siang, aku menyebutnya pagi karena waktu itu kami baru bangun tidur. Kami perginya siang-siang. Petualanganpun di mulai. Sebelumnya kami pernah ke sana, dan ini untuk yang kesekian kalinya. Emang sudah berapa kali sih? Dua kali dunk, banyakkan? Ha ha ha.
Tiada yang mengira ombak laut marah, aku juga gak pernah ngebayanginya. Yang ku bayangin adalah lumba-lumba yang bermain menghibur kepergian kami seperti sebelumnya. Itu kali pertama aku melihat lumba-lumpa lo, keren abiezzz. Like it's.
Ombak laut benar-benar marah, angin kencang yang membuatnya seperti itu. Kapal kami terombang-ambing. "Woi, kita seperti Marcopolo, Sang Penjelajah dunia," ujar Syarbunis. Padahal hatinya berkata lain, "Tuhan, ampuni dosaku, aku belum kawin Tuhan, Tuhan, please, jangan sampai se-apes ini Tuhan." Begitulah kira-kira rengekan hatinya. Bicara tentang Syarbunis, perlu dan sangat penting kita ketahui bahwa dia orangnya manis, tapi jomblonya itu sudah pada tingkatan kronis. Mungkin strukural kali ya, atau mungkin memang sudah takdir. Wakakakaka . . . .
Buarrrrrrrr , , , ombak menampar. Mana tissunya, cewek-cewek bareng kami pada menangis. Tapi sayang, gak ada tissu. "Mak, aku ingin balik, putar bot balik," teriak Muti si gadis genit. Orangnya tembem tapi asyik. Cowok idamannya "mebule dada" (red: berbulu dada). Di hutan banyak deh yang kayak gitu. He he he. Kita kembali ke topik. Emang topiknya apa ya? Ah, yang penting nulis, nyambung gak nyambung mah DL.
Semua cewek menangis, ada pun Via Nurjannah, dia malah tidur untuk menutup tangisannya. Yang aneh adalah Icha, dia nangis karena yang lain pada nangis. Istilah yang tepat untuk Icha adalah "Ikut-ikut taik hanyut". Ada juga yang romantis, yaitu Anna Maisuri yang bisa tenang karena di dampingin oleh kekasih hatinya; Mahmuddin Aifa. Stop pacaran, cerita ini adalah ceritanya Petualang, bukan Percintaan.
Di atas ketakutan kami (tidak termasuk aku, awalnya masuk juga sih), aku malah berfikir lain. Aku seperti sedang nonton film bajak laut yang mengarungi lautan. Judul filmnya apa ya? Kayaknya "Nenekku Seorang Pelaut" tepat untuk melukiskan kesan fikiranku. terkadang kapal kami berada di atas ombak dan terkadang pula ombak yang berada di atas kami. Kerenkan? Keren ajalah, ya, ya, iyalah. Kok malah seperti Banci gini ya aku bercerita.
Tapi, tidak ada klimaksnya, jadi kurang seru. Seramnya di sepanjang pengarungan, tidak ada kondisi tenang di mana hati kami bisa tentram. Semuanya ketakutan, kecuali aku (pengakuan pribadi biar gak dianggap banci). Dan pada pelabuhan itu, kami pun berlabuh. Mungkin inilah klimaksnya, karena hanya keadaan ini yang berbeda selama perjalanan. Kami pun senang. Di sini senang, di laut gak senang, di mana-mana ada susah senang. lalalalala.
Pendakian atau Pembunuhan?
Setelah sampai di Pulo, dan sore itu kami juga masih sempat mancing ikan untuk makan malam (hanya dapat 4 ekor), paginya petualangan kembali di mulai. Target kali ini adalah Meulingge. Yang ku bayangkan adalah perjalanan yang penuh keindahan, dan ini benar. Tapi yang tak terfikir adalah jalannya. Jalan ke Meulingge itu jauh lebih indah (sebenarnya lebih lelah) dari perjalanan Banda Aceh - Pulo Aceh. Awalnya memang kami naik motor (di Aceh disebut "Honda" walau mereknya 'Yamaha, Suzuki, dll'), tapi, akhirnya hondalah yang mesti kami dorong. Mesin honda Via hampir meledak, bau knalpotnya sudah gak enak. Menurut pakar penciuman, bau ini seperti bauk bakar, di mana karet kendaraan Via mulai terbakar karena mesin yang terlalu panas. Ntah betul ntah nggak.
Keringat kami bercucuran. Tak mengenal anak Pejabat, anak PNS, anak Pengusaha dsb, semua keringat yang keluar tetap saja keringat petani (red; keringat jagung). Air, air, air. Ku pikir ada yang jual air, rupanya suara lelah Afrilisda yang berharap air. Kasian dia, sudah kurus, dipaksa jalan mendaki lagi, jauh lagi. Tenang Lis, Abi bawa air kok, aku juga ada, tapi air s**i (sensor). Ha ha ha.
"Din, apa tanggapanmu?" tanyaku ke Puddin."The real adventure, benar-benar asyik," jawabnya."Gak ada yang lain?""Aku mau mati," lidahnya keluar, seperti ******* (sensor lagi).
Tapi bro, di setiap kesusahan pasti ada kemudahan. Jika awalnya kami lelah, maka akhirnya kami puas dengan pemandangan yang indah. Sudah ya, capek juga ngetiknya. Lihat photo-photonya aja ya. Bagi yang gak jadi pergi (Azka Amalia Jihad) semoga di lain hari ada kesempatan. Bagi yang belum pergi, ku yakin, di ujung hayatmu, kau akan berkata "Sekiranya dulu aku sempat ke Pulo Aceh, lihat Mercesuar, lihat pemandangan yang indah, maka, kalaupun nanti aku masuk neraka, aku pernah melihat syurga dunia." he he he. Yang satu ini gak beneran, kok. Jangan dipaksa juga. Ntar aku di tuduh provokator pula.
0 komentar:
Posting Komentar
Cukup dengan bahasa yang sopan, membangun dan mudah dimengerti, maka komentar saudara akan sangat kami hargai. Terima kasih